Suka nonton acara K!ck Andy? klo jawabanmu iya... berarti kita sama (^_^) sebuah tayangan talk show yang menyuguhkan begitu banyak informasi bagi para penontonnya. acara yang digagas oleh Adjie S. Soeratmadjie dan dibawakan langsung oleh sang pemimimpin redaksi Metro TV ; Andy F Noya.
mungkin aq katrok kali ya? hehehe...Nama Andy F Noya belum pernah aq dengar sebelumnya, tapi setelah tanya2 sama mbah google jadi tau, selain baca di profile websitenya K!ck andi, aq juga menemukannya disini,dan berikut adalah kutipan wawancaranya :
K!ck Andy adalah talk Show yang amat manusiawi dan menyentuh hati karena dalam bahasa dan caranya menggunakan hati”Hmm, buatku yang notabenenya adalah penggila talk show, acara K!ck Andy salah satu acara favorit setelah Oprah,karena selain mendidik yang pastinya ada banyak hikmah yang bisa d ambil setelah menonton acara tersebut. Awalnya , aq penasaran, siapa ya yang bawain acara ini? yang aq tau K!ck Andy itu dibawakan oleh K!ck Andy...
Secara umum orang mengenal Anda hanya sebagai Pemimpin Redaksi Metro TV. Dapatkah diceritakan bagaimana masa kecil Anda?
Saya terlahir dari keluarga yang ekonominya pas-pasan. Bapak saya seorang servis mesin ketik, ibu tukang jahit. Saya masih ingat, ketika mau membantu bapak menyervis mesin ketik, dia berkata, jangan kamu sentuh mesin ini. Saya sadar ternyata dia tidak mau anaknya menjadi tukang servis mesin ketik. Waktu Sekolah Dasar, saya sempat sekolah di Malang, kemudian ikut bapak ke Papua. Saya tinggal di Papua sampai kelas dua Sekolah Teknik Menengah (STM), terus pindah ke Jakarta, sekolah di STM 6 Keramat.
Kok bisa pindah ke Papua?
Bapak bekerja di sana. Perlahan-lahan bapak mulai banyak mendapat pesanan memperbaiki mesin ketik kantor. Setelah ekonomi sedikit mapan dan membaik, ibu, kakak dan saya menyusul ke Papua. Enam tahun saya tinggal di Papua.
Anda anak bungsu dari lima bersaudara, apakah Anda anak manja?
Sebaliknya, saya anak yang paling keras dan pembangkang. Waktu kecil saya sering tidak pulang ke rumah, ikut mencuri mangga dan burung dara, terus dijual. Kalau tak dikasih uang, kaca-kaca rumah pecah. Kakak-kakak saya mengira, kalau sudah besar nanti saya akan menjadi penjahat.
Sebenarnya apa sih harapan orang tua terhadap diri Anda?
Bapak menginginkan saya menjadi orang teknik, karena dia berasal dari teknik. Dengan harapan saya bisa lebih sukses dari dirinya. Begitu juga harapan saya terhadap anak-anak saya, saya menginginkan anak saya ada yang menjadi wartawan. Tapi tidak ada yang mau, malah pada sekolah desain grafis.
Dari sisi pria, apakah Anda termasuk pria romantis?
Romantis tidak, genit iya. Untung saya menikah dengan perempuan yang bisa memahami saya. Saya tidak bisa melihat perempuan cantik. Istri sering mengatakan bahwa saya adalah suami dan bapak yang baik, tapi sulit dikontrol. Artinya tak tahan melihat perempuan cantik.
Dari sisi perasaan, saya pria yang suka berbicara dengan hati, ketimbang dengan pikiran. Saya mudah tersentuh, apalagi melihat orang susah. Ini mungkin karena pengalaman hidup saya yang berasal dari orang susah. Saya pernah melihat orang tua menjual pisang. Karena kasihan, pisangnya saya bell semuanya. Istri saya protes, saya katakan kamu tidak pernah miskin, maka kamu tidak tahu bagaimana pahitnya menjadi orang miskin.
Anda mengaku sebagai pria genit. Sebagai pria genit Anda tentu punya pandangan tentang wanita. Seperti apa wanita seksi menurut Anda?
Wanita seksi adalah wanita yang cerdas. Saya tidak suka wanita cantik tapi tolol, selera langsung hilang. Wanita kurang cantik tapi pintar, itu baru menggoda.
Sebagai pemimpin media, Anda pasti sibuk. Apa yang Anda lakukan di waktu senggang?
Menonton dan membaca buku. Untuk musik, saya suka musik jazz. Setiap ada pagelaran jazz saya usahakan datang. Sabtu dan Minggu saya gunakan untuk `pacaran' bersama istri dan jalan bersama anak-istri.
Buku jenis apa yang Anda sukai?
Apa saja, saya suka membaca buku manajemen, politik, sejarah dan sastra. Pada dasarnya saya suka membaca.
Anda dikenal wartawan ahli lobi. Dalam berinteraksi dengan narasumber, apakah Anda sering mengikuti gaya hidup mereka?
Tidak juga. Saya diakui sebagai orang yang kuat dalam melobi. Saya dekat sama semua narasumber, tapi tidak terlalu dekat, sampai main golf atau karaoke bersama. Apa yang tidak saya suka, saya katakan tidak suka. Saya ingin menjadi diri sendiri, saya tidak ingin menjadi orang lain.
Sehari-hari, Anda suka berpenampilan seperti apa?
Sebenarnya saya agak selebor. Ini rapi karena sedang bekerja saja. Hari Minggu saya suka memakai celana pendek dan sepatu sandal. Waktu kuliah, penampilan saya sangat selebor, kaos, jeans sobek, sepatu butut dan rambut kribo. Kribonya tidak seperti sekarang, lebih tebal.
Ritme hidup Anda cukup menarik. Bisa ceritakan kenapa Anda tertarik pada mengga dunia jurnalistik?
Semenjak SD saya sudah suka mengarang dan melukis. Sampai-sampai hasil lukisan saya dipajang di ruangan guru. Di Sekolah Teknik Negeri (setara Sekolah Menengah Pertama-Red), saya sempat beberapa kali juarai lomba karikatur. Saat duduk di STM, saya juara tiga lomba mengarang tingkat SMA se-Papua. Saya juga lulusan terbaik dan mendapat beasiswa untuk sekolah guru di Padang. Tapi setelah saya berpikir-pikir, jadi guru bukan cita-cita saya, maka jatah beasiswa saya kasih ke kelulusan terbaik nomor dua.
Suatu hari saya membaca artikel di sebuah majalah remaja tentang sekolah wartawan yaitu STP. Saya tertarik, kemudian saya melamar ke STP.
Orang tua Anda tahu bakat yang Anda miliki?
Tahu, tapi kan orang tua saya orang miskin. Dia memasukkan saya ke sekolah teknik, dengan harapan setelah lulus bisa langsung bekerja. Saya sadar kemampuan ekonomi orang tua saya terbatas.
Setelah lulus STM Anda hijrah ke Jakarta dan kuliah di STP. Di Jakarta dengan siapa Anda tinggal?
Sama kakak. Setiap pagi sebelum pergi kuliah, kerja saya memandikan keponakan dan mengantarkannya sekolah. Usai mengantar sekolah, saya mencuci piring dan membersihkan rumah. Namanya saja numpang, walaupun tak disuruh saya harus tahu diri. Malu sama kakak ipar. Siangnya saya menjemput keponakan dari sekolah. Setelah itu baru berangkat kuliah.
Berhubung saya tidak sanggup beli buku, saya nongkrong di perpustakaan, mencatat semua bahan-bahan kuliah. Saya jarang memfoto kopi buku, sampai-sampai penjaga perpustakaan bilang, difoto kopi saja mas. Saya jawab tidak usah, cuma sedikit kok. Dari sini saya mulai menghemat uang. Makan siang saja cumau makan gado-gado Rp. 500. Kalau naik angkot saya berharap bertemu teman, dengan harapan dibayarin. Dan saya paling senang kalau diajak ulang tahun, lumayan makan gratis.
Lulus dari STP Anda langsung bekerja menjadi wartawan?
Waktu tingkat tiga, tahun 1984, secara tidak sengaja saya melihat pengumuman lowongan kerja menjadi reporter buku Apa & Siapa terbitan Grafiti Press, anak perusahaan majalah Tempo. Saya iseng ikut mengantarkan teman melamar. Setelah itu saya malah jadi ikut melamar dan tes. Ternyata lulus, saya langsung disuruh bekerja. Saya dipanggil kerja tanggal 6 November bertepatan dengan hari ulang tahun saya. Di sini saya berkenalan dengan Rahman Tolleng, mantan Pemimpin Redaksi Suara Karya.
Setelah menjadi wartawan siapa tokoh yang pertama kali Anda wawancarai?
Sofyan Wanandi. Sofyan Wanandi inilah yang membuka akses ke pengusaha-pengusaha lain, di antaranya Liem Sie Liong. Waktu itu sangat sulit menemui pengusaha. Setiap bulan saya harus mewawancarai 12 tokoh.
Berapa honor yang Anda peroleh?
Satu tulisan profil Rp. 10.000. Waktu itu saya yang paling rajin. Tiap liputan saya naik angkot, pakai kaos oblong, celana jeans robek, dan sepatu butut. Dengan harapan kondektur tidak meminta ongkos. Biasanya melihat gaya seperti ini kondektur malas nagih ongkos, kalau diminta saya naik mobil satunya lagi.
Dilihat dari karier, Anda dibesarkan dari media cetak, bagaimana ceritanya bisa beralih ke elektronik?
Suatu hari saya berjalan bersama bapak Surya Paloh, dan. agar pembicaraan lebih leluasa, bapak Surya Paloh meminta saya untuk menyetirkan mobilnya, sementara mobil saya dibawa oleh supir bapak Surya Paloh. Saya katakan pada bapak Surya Paloh, saya sudah bosan bekerja di media cetak, saya mau pindah ke televisi. Pasalnya, waktu itu ada yang menawarkan saya untuk bekerja di televisi. Tapi orang yang menawarkan itu tidak berani ngomong langsung sama bapak Surya, takut karena dia sahabat bapak Surya Paloh. Dia menyarankan saya untuk berhenti dulu, setelah itu baru bergabung.
Terus bapak Surya bertanya, kamu mau pindah ke mana? Saya jawab, saya mau ke RCTI. Lalu bapak Surya bilang, kamu tidak usah pindah ke RCTI, saya akan membuat televisi sendiri. Untuk sementara, sebelum Metro TV jadi kamu boleh bergabung dengan RCTI. Nanti setelah Metro TV jadi, kamu harus kembali bekerja sama saya.
Singkat cerita, sekitar akhir tahun 1999, ada seseorang menelepon saya. Dia mengatakan, untuk membuat satu stasiun televisi cukup dengan modal Rp. 3 milyar. Saya langsung menelepon bapak Surya Paloh. Bapak Surya menyuruh saya mempertemukan dengan orang tersebut. Hasil pembicaraan memutuskan, jadi membuat Metro TV. Tujuh bulan memimpin RCTI, bapak Surya menelepon saya, surat izin Metro TV sudah selesai, saya diminta untuk kembali dan memimpin Metro TV.
Hebat, pendekatan apa yang Anda lakukan sehingga pengusaha-pengusaha media begitu percaya sama Anda?
Semuanya tak lebih dari minat. Minat berhubungan dengan prestasi. Bagi saya, tugas bukanlah beban, semakin banyak tugas yang diberikan, saya semakin bersemangat. Kerja adalah rekreasi. Kadang-kadang saya sampai lupa jam, tahu-tahu sudah jam 03.00 pagi.
20 tahun lebih Anda menjadi wartawan, prestasi apa yang telah Anda capai selama menjadi wartawan?
Prestasi saya lebih pada kepemimpinan, Saya mempunyai kemampuan memenit orang. Saya tidak punya prestasi jurnalistik. Waktu di majalah Matra saya pernah meliput tentang prostitusi yang melibatkan selebriti. Untuk mendapatkan data tentang bisnis prostitusi, saya membayar kaki tangan seorang germo. Saya memperoleh sejumlah nama selebriti, lengkap dengan nomor telepon dan tarif. Sampai saya didemo karena germonya seorang pengusaha kayu.
Walau tidak punya prestasi, tapi pernah mengalami intimidasi?
Saya sering didemo dan mendapat surat kaleng, apalagi setelah menjadi pembawa acara Kick Andy. Beberapa bulan yang lalu ketika Kick Andy mengangkat tema "Pelajar Eks PKI", saya dituduh PKI.
Punya pengalaman jurnalistik yang sulit dilupakan?
Ketika meliput ke daerah pedalaman Papua. Saya naik pesawat kecil yang kena angin saja oleng. Jangankan naik pesawat kecil, naik pesawat besar pun saya takut. Saya takut pesawat menabrak bukit karena pesawat kecil tidak bisa lebih tinggi dari gunung. Alhasil pesawat terbang di antara sela-sela bukit dan gunung.
Anda lebih dikenal orang di belakang layar. Bagaimana perasaan Anda saat tampil di acara Kick Andy?
Saya ini tipe orang pemalu. Sebenarnya saya tidak mau menjadi pembawa acara Kick Andy, tapi bapak Surya memaksa saya. Katanya saya punya talenta dan punya seni bertanya, tajam tapi tidak menyakiti orang. Waktu di RCTI saya pernah mewawancarai Wiranto. Saya bertanya seputar kerusuhan. Pertanyaan saya sangat tajam tapi dia tidak tersinggung. Pak Surya menginginkan saya seperti Larry King. Dari sinidibuatlah program untuk saya, jadilah KickAndy. Formatnya seperti Oprah Winfrey.
Siapa tokoh yang pertama kali tampil di Kick Andy?
Warsito Sanyoto. Orangnya unik dan perfeksionis. Saat acara berlangsung, tiba-tiba dia mau pulang, acara dianggap tidak sesuai dengan keinginannya. Dia marah-marah, karena semua profilnya akan ditayangkan.
Sebagai wartawan senior, Anda pasti tahu tentang perkembangan media massa. Bagaimana pandangan Anda tentang media massa sekarang?
Pedih. Sekarang tanpa SIUP orang bisa membuat koran. Orang yang tidak punya panggilan jiwa di bidang ini akan menerbitkan media massa sesuai dengan keinginan, terbitlah media-media porno.
Sekarang siapa saja bisa menjadi wartawan. Tinggal dikasih kartu wartawan, jadi wartawan. Akibatnya terjadilah pemerasan. Tidak itu saja, pers juga menjadi tidak netral, partai-partai membuat media untuk mendukung partai atau orang yang dicalonkan partai. Kondisi ini membuat dunia jurnalistik menjadi buruk. Ini menjadi tantangan bagi pers yang benar. Saran saya, jangan menggunakan kebebasan secara absolut.
Anda menentang keberpihakan, sementara Metro TV adalah milik Ketua Dewan Penasehat Golkar, itu bagaimana?
Itu bagian yang harus diterima. Ujian yang paling berat ketika Surya Paloh terjun ke konvensi Golkar, mencalonkan diri sebagai presiden. Sempat terjadi perdebatan antara pekerja profesional (karyawan Metro TV dan Media Indonesia-Red) dan tim sukses Surya Paloh. Agar tak terseret menjadi alat kepenting an golongan, kita membuat koridor dan membuat kesepakatan antara tim sukses dan para pekerja profesional.
Bisa dikatakan Metro TV adalah televisi berita, sementara masyarakat masih suka program hiburan, bagaimana Anda menghadapi tantangan ini?
Ketika Metro TV memutuskan diri menjadi televisi berita, banyak orang tertawa, dianggap bodoh dan tidak akan bertahan lama. Selama ini konsep orang membeli televisi adalah membeli hiburan, bukan berita. Berita hanya bagian dari program. Rating berita selalu kalah oleh sinetron. Saya katakan tidak, Metro TV akan bertahan lama dan sukses. Di Indonesia belum ada televisi seperti CNN. Dan kita tidak punya pengalaman di bidang hiburan.
Memang betul, di tahun-tahun awal adalah tahun penuh penderitaan, semua biro iklan enggan memasang iklan di Metro TV. Mereka selalu berpatokan pada rating. Untuk meyakinkan biro iklan memang susah. Usaha yang kita lakukan adalah melakukan pendekatan langsung kepada pemilik produk. Kita katakan, untuk jualan memang harus memasang iklan di televisi lain, tapi untuk image tidak ada televisi kecuali Metro TV.
Terbukti, sekarang pola pikir penonton sudah berubah, berita sudah menjadi tontonan penting. Akhirnya banyak stasiun televisi membeli mobil satelit dan membenahi program berita, merekrut wartawan dan presenter baru.
Menurut Anda, bagaimana tingkat kompetisi antara industri televisi?
Tinggi sekali. Persaingan semakin ketat, porsi iklan semakin terbatas. Untuk meningkatkan rating, apa saja dilakukan. Akibatnya muncul tayangan seks dan mistik. Dalam persaingan, kecenderungan lepas kontrol itu tinggi sekali.
Siapakah orang yang paling berpengaruh dalam hidup Anda?
Rahman Tolleng, dia orang pertama yang memotivasi saya untuk maju. Dia sering memuji, kalau nanti saya bakal jadi wartawan bagus. Dia bilang, cara saya menulis dan reportase cukup bagus. Mendengar itu, saya jadi tambah bersemangat. Kedua, Lukman Setiawan. Dia yang merekrut saya untuk bergabung dengan Koran Bisnis Indonesia. Walaupun saya belum sarjana, tapi dia bilang saya sudah layak dan tidak masalah. Ketiga, Amir Daud, Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia. Dia mengajari saya tentang moral dan merubah penampilan saya menjadi lebih rapi. Dulu penampilan saya selebor, mirip Ali Topan. Bahkan waktu itu saya belum memakai kaos kaki, ha... ha... ha!
Kemudian saya masuk ke majalah Matra. Di situ saya bertemu Fikri Jufri. Dia mengajarkan saya tentang lobi, Fikri Jufri adalah seorang ahli lobi. Fikri jufri memperkenalkan saya dengan orang-orang terkenal. Mungkin karena saya lahir dari keluarga kelas bawah, saya memiliki sifat minder dan sedikit introvert. Dengan profesi jurnalis, Fikri Jufri merubah pola pikir dan penampilan saya sehingga berani tampil di kalangan jetsetter.
Mereka ini adalah orang-orang yang paling berjasa dalam merintis karier saya. Kemudian yang terakhir adalah Surya Paloh. Dia membimbing saya untuk bemengambil keputusan. Banyak hal yang sulit dicerna akal sehat dan logika, tapi di tangan Surya Paloh banyak hal jadi bisa dicerna. Tidak ada kata yang tak mungkin baginya.
Surya Paloh tipikal orang demokratis. Saya sering beradu argumen dengannya. Pola ini saya ajarkan di sini, jadi tidak ada keputusan bersifat absolut. Reporter atau siapa saja, bisa mengeluarkan pendapat. Intinya, ide itu bisa datang dari siapa saja. Dan yang lebih penting, jangan biarkan ide mati di atas meja. Biarkan ide tumbuh dan berkembang. Itulah nilai-nilai yang saya pelajari dari grup ini.
Saat ini, bisa dibilang karier Anda di media massa sudah berada di posisi puncak. Apakah Anda masih memiliki obsesi lain?
Saya ingin jadi pemilik, ha... ha... ha. Banyak orang berpikir kalau sudah berada di posisi puncak sulit untuk mulai menekuni bidang lain. Saya mungkin termasuk orang yang berpikir seperti ini. Ada waktunya untuk enough is enough. Tapi dunia ini (jurnalistik-Red) tidak bisa saya tinggalkan.
Kalau saya ngotot tetap mau seperti ini, kasihan nanti anak-anak muda, tidak bisa tumbuh dan menggantikan saya.
Sebenarnya saya sudah pernah pamit kepada bapak Surya untuk menekuni bisnis sendiri. Tapi karena waktu pamitan Pemimpin Redaksi Metro TV keluar, akhirnya dia meminta saya untuk jangan pergi dulu. Cita-citaku memang ingin memiliki bisnis sendiri. Bisnis di bidang yang sama. Misalnya, punya majalah atau tabloid kecil-kecilan. Mungkin jurnalistik adalah dunia yang akan kutekuni sampai mati.
Pertanyaan terakhir, ada yang mengatakan kalau mau kaya jangan menjadi wartawan, Anda setuju?
Setuju, jadi wartawan memang tidak bisa kaya. Kalau mau kaya jadi pengusaha atau pemilik media. Sempat terbetik di pikiran, satu hari harus berhenti menjadi wartawan. Tapi apa boleh buat, saya senang menjadi wartawan, wartawan itu adalah hobi yang dibayar. Saya sering mengatakan kepada istri, saya ini bukan pergi bekerja tapi pergi berekreasi, pulangnya dibayar.
Saya terlahir dari keluarga yang ekonominya pas-pasan. Bapak saya seorang servis mesin ketik, ibu tukang jahit. Saya masih ingat, ketika mau membantu bapak menyervis mesin ketik, dia berkata, jangan kamu sentuh mesin ini. Saya sadar ternyata dia tidak mau anaknya menjadi tukang servis mesin ketik. Waktu Sekolah Dasar, saya sempat sekolah di Malang, kemudian ikut bapak ke Papua. Saya tinggal di Papua sampai kelas dua Sekolah Teknik Menengah (STM), terus pindah ke Jakarta, sekolah di STM 6 Keramat.
Kok bisa pindah ke Papua?
Bapak bekerja di sana. Perlahan-lahan bapak mulai banyak mendapat pesanan memperbaiki mesin ketik kantor. Setelah ekonomi sedikit mapan dan membaik, ibu, kakak dan saya menyusul ke Papua. Enam tahun saya tinggal di Papua.
Anda anak bungsu dari lima bersaudara, apakah Anda anak manja?
Sebaliknya, saya anak yang paling keras dan pembangkang. Waktu kecil saya sering tidak pulang ke rumah, ikut mencuri mangga dan burung dara, terus dijual. Kalau tak dikasih uang, kaca-kaca rumah pecah. Kakak-kakak saya mengira, kalau sudah besar nanti saya akan menjadi penjahat.
Sebenarnya apa sih harapan orang tua terhadap diri Anda?
Bapak menginginkan saya menjadi orang teknik, karena dia berasal dari teknik. Dengan harapan saya bisa lebih sukses dari dirinya. Begitu juga harapan saya terhadap anak-anak saya, saya menginginkan anak saya ada yang menjadi wartawan. Tapi tidak ada yang mau, malah pada sekolah desain grafis.
Dari sisi pria, apakah Anda termasuk pria romantis?
Romantis tidak, genit iya. Untung saya menikah dengan perempuan yang bisa memahami saya. Saya tidak bisa melihat perempuan cantik. Istri sering mengatakan bahwa saya adalah suami dan bapak yang baik, tapi sulit dikontrol. Artinya tak tahan melihat perempuan cantik.
Dari sisi perasaan, saya pria yang suka berbicara dengan hati, ketimbang dengan pikiran. Saya mudah tersentuh, apalagi melihat orang susah. Ini mungkin karena pengalaman hidup saya yang berasal dari orang susah. Saya pernah melihat orang tua menjual pisang. Karena kasihan, pisangnya saya bell semuanya. Istri saya protes, saya katakan kamu tidak pernah miskin, maka kamu tidak tahu bagaimana pahitnya menjadi orang miskin.
Anda mengaku sebagai pria genit. Sebagai pria genit Anda tentu punya pandangan tentang wanita. Seperti apa wanita seksi menurut Anda?
Wanita seksi adalah wanita yang cerdas. Saya tidak suka wanita cantik tapi tolol, selera langsung hilang. Wanita kurang cantik tapi pintar, itu baru menggoda.
Sebagai pemimpin media, Anda pasti sibuk. Apa yang Anda lakukan di waktu senggang?
Menonton dan membaca buku. Untuk musik, saya suka musik jazz. Setiap ada pagelaran jazz saya usahakan datang. Sabtu dan Minggu saya gunakan untuk `pacaran' bersama istri dan jalan bersama anak-istri.
Buku jenis apa yang Anda sukai?
Apa saja, saya suka membaca buku manajemen, politik, sejarah dan sastra. Pada dasarnya saya suka membaca.
Anda dikenal wartawan ahli lobi. Dalam berinteraksi dengan narasumber, apakah Anda sering mengikuti gaya hidup mereka?
Tidak juga. Saya diakui sebagai orang yang kuat dalam melobi. Saya dekat sama semua narasumber, tapi tidak terlalu dekat, sampai main golf atau karaoke bersama. Apa yang tidak saya suka, saya katakan tidak suka. Saya ingin menjadi diri sendiri, saya tidak ingin menjadi orang lain.
Sehari-hari, Anda suka berpenampilan seperti apa?
Sebenarnya saya agak selebor. Ini rapi karena sedang bekerja saja. Hari Minggu saya suka memakai celana pendek dan sepatu sandal. Waktu kuliah, penampilan saya sangat selebor, kaos, jeans sobek, sepatu butut dan rambut kribo. Kribonya tidak seperti sekarang, lebih tebal.
Ritme hidup Anda cukup menarik. Bisa ceritakan kenapa Anda tertarik pada mengga dunia jurnalistik?
Semenjak SD saya sudah suka mengarang dan melukis. Sampai-sampai hasil lukisan saya dipajang di ruangan guru. Di Sekolah Teknik Negeri (setara Sekolah Menengah Pertama-Red), saya sempat beberapa kali juarai lomba karikatur. Saat duduk di STM, saya juara tiga lomba mengarang tingkat SMA se-Papua. Saya juga lulusan terbaik dan mendapat beasiswa untuk sekolah guru di Padang. Tapi setelah saya berpikir-pikir, jadi guru bukan cita-cita saya, maka jatah beasiswa saya kasih ke kelulusan terbaik nomor dua.
Suatu hari saya membaca artikel di sebuah majalah remaja tentang sekolah wartawan yaitu STP. Saya tertarik, kemudian saya melamar ke STP.
Orang tua Anda tahu bakat yang Anda miliki?
Tahu, tapi kan orang tua saya orang miskin. Dia memasukkan saya ke sekolah teknik, dengan harapan setelah lulus bisa langsung bekerja. Saya sadar kemampuan ekonomi orang tua saya terbatas.
Setelah lulus STM Anda hijrah ke Jakarta dan kuliah di STP. Di Jakarta dengan siapa Anda tinggal?
Sama kakak. Setiap pagi sebelum pergi kuliah, kerja saya memandikan keponakan dan mengantarkannya sekolah. Usai mengantar sekolah, saya mencuci piring dan membersihkan rumah. Namanya saja numpang, walaupun tak disuruh saya harus tahu diri. Malu sama kakak ipar. Siangnya saya menjemput keponakan dari sekolah. Setelah itu baru berangkat kuliah.
Berhubung saya tidak sanggup beli buku, saya nongkrong di perpustakaan, mencatat semua bahan-bahan kuliah. Saya jarang memfoto kopi buku, sampai-sampai penjaga perpustakaan bilang, difoto kopi saja mas. Saya jawab tidak usah, cuma sedikit kok. Dari sini saya mulai menghemat uang. Makan siang saja cumau makan gado-gado Rp. 500. Kalau naik angkot saya berharap bertemu teman, dengan harapan dibayarin. Dan saya paling senang kalau diajak ulang tahun, lumayan makan gratis.
Lulus dari STP Anda langsung bekerja menjadi wartawan?
Waktu tingkat tiga, tahun 1984, secara tidak sengaja saya melihat pengumuman lowongan kerja menjadi reporter buku Apa & Siapa terbitan Grafiti Press, anak perusahaan majalah Tempo. Saya iseng ikut mengantarkan teman melamar. Setelah itu saya malah jadi ikut melamar dan tes. Ternyata lulus, saya langsung disuruh bekerja. Saya dipanggil kerja tanggal 6 November bertepatan dengan hari ulang tahun saya. Di sini saya berkenalan dengan Rahman Tolleng, mantan Pemimpin Redaksi Suara Karya.
Setelah menjadi wartawan siapa tokoh yang pertama kali Anda wawancarai?
Sofyan Wanandi. Sofyan Wanandi inilah yang membuka akses ke pengusaha-pengusaha lain, di antaranya Liem Sie Liong. Waktu itu sangat sulit menemui pengusaha. Setiap bulan saya harus mewawancarai 12 tokoh.
Berapa honor yang Anda peroleh?
Satu tulisan profil Rp. 10.000. Waktu itu saya yang paling rajin. Tiap liputan saya naik angkot, pakai kaos oblong, celana jeans robek, dan sepatu butut. Dengan harapan kondektur tidak meminta ongkos. Biasanya melihat gaya seperti ini kondektur malas nagih ongkos, kalau diminta saya naik mobil satunya lagi.
Dilihat dari karier, Anda dibesarkan dari media cetak, bagaimana ceritanya bisa beralih ke elektronik?
Suatu hari saya berjalan bersama bapak Surya Paloh, dan. agar pembicaraan lebih leluasa, bapak Surya Paloh meminta saya untuk menyetirkan mobilnya, sementara mobil saya dibawa oleh supir bapak Surya Paloh. Saya katakan pada bapak Surya Paloh, saya sudah bosan bekerja di media cetak, saya mau pindah ke televisi. Pasalnya, waktu itu ada yang menawarkan saya untuk bekerja di televisi. Tapi orang yang menawarkan itu tidak berani ngomong langsung sama bapak Surya, takut karena dia sahabat bapak Surya Paloh. Dia menyarankan saya untuk berhenti dulu, setelah itu baru bergabung.
Terus bapak Surya bertanya, kamu mau pindah ke mana? Saya jawab, saya mau ke RCTI. Lalu bapak Surya bilang, kamu tidak usah pindah ke RCTI, saya akan membuat televisi sendiri. Untuk sementara, sebelum Metro TV jadi kamu boleh bergabung dengan RCTI. Nanti setelah Metro TV jadi, kamu harus kembali bekerja sama saya.
Singkat cerita, sekitar akhir tahun 1999, ada seseorang menelepon saya. Dia mengatakan, untuk membuat satu stasiun televisi cukup dengan modal Rp. 3 milyar. Saya langsung menelepon bapak Surya Paloh. Bapak Surya menyuruh saya mempertemukan dengan orang tersebut. Hasil pembicaraan memutuskan, jadi membuat Metro TV. Tujuh bulan memimpin RCTI, bapak Surya menelepon saya, surat izin Metro TV sudah selesai, saya diminta untuk kembali dan memimpin Metro TV.
Hebat, pendekatan apa yang Anda lakukan sehingga pengusaha-pengusaha media begitu percaya sama Anda?
Semuanya tak lebih dari minat. Minat berhubungan dengan prestasi. Bagi saya, tugas bukanlah beban, semakin banyak tugas yang diberikan, saya semakin bersemangat. Kerja adalah rekreasi. Kadang-kadang saya sampai lupa jam, tahu-tahu sudah jam 03.00 pagi.
20 tahun lebih Anda menjadi wartawan, prestasi apa yang telah Anda capai selama menjadi wartawan?
Prestasi saya lebih pada kepemimpinan, Saya mempunyai kemampuan memenit orang. Saya tidak punya prestasi jurnalistik. Waktu di majalah Matra saya pernah meliput tentang prostitusi yang melibatkan selebriti. Untuk mendapatkan data tentang bisnis prostitusi, saya membayar kaki tangan seorang germo. Saya memperoleh sejumlah nama selebriti, lengkap dengan nomor telepon dan tarif. Sampai saya didemo karena germonya seorang pengusaha kayu.
Walau tidak punya prestasi, tapi pernah mengalami intimidasi?
Saya sering didemo dan mendapat surat kaleng, apalagi setelah menjadi pembawa acara Kick Andy. Beberapa bulan yang lalu ketika Kick Andy mengangkat tema "Pelajar Eks PKI", saya dituduh PKI.
Punya pengalaman jurnalistik yang sulit dilupakan?
Ketika meliput ke daerah pedalaman Papua. Saya naik pesawat kecil yang kena angin saja oleng. Jangankan naik pesawat kecil, naik pesawat besar pun saya takut. Saya takut pesawat menabrak bukit karena pesawat kecil tidak bisa lebih tinggi dari gunung. Alhasil pesawat terbang di antara sela-sela bukit dan gunung.
Anda lebih dikenal orang di belakang layar. Bagaimana perasaan Anda saat tampil di acara Kick Andy?
Saya ini tipe orang pemalu. Sebenarnya saya tidak mau menjadi pembawa acara Kick Andy, tapi bapak Surya memaksa saya. Katanya saya punya talenta dan punya seni bertanya, tajam tapi tidak menyakiti orang. Waktu di RCTI saya pernah mewawancarai Wiranto. Saya bertanya seputar kerusuhan. Pertanyaan saya sangat tajam tapi dia tidak tersinggung. Pak Surya menginginkan saya seperti Larry King. Dari sinidibuatlah program untuk saya, jadilah KickAndy. Formatnya seperti Oprah Winfrey.
Siapa tokoh yang pertama kali tampil di Kick Andy?
Warsito Sanyoto. Orangnya unik dan perfeksionis. Saat acara berlangsung, tiba-tiba dia mau pulang, acara dianggap tidak sesuai dengan keinginannya. Dia marah-marah, karena semua profilnya akan ditayangkan.
Sebagai wartawan senior, Anda pasti tahu tentang perkembangan media massa. Bagaimana pandangan Anda tentang media massa sekarang?
Pedih. Sekarang tanpa SIUP orang bisa membuat koran. Orang yang tidak punya panggilan jiwa di bidang ini akan menerbitkan media massa sesuai dengan keinginan, terbitlah media-media porno.
Sekarang siapa saja bisa menjadi wartawan. Tinggal dikasih kartu wartawan, jadi wartawan. Akibatnya terjadilah pemerasan. Tidak itu saja, pers juga menjadi tidak netral, partai-partai membuat media untuk mendukung partai atau orang yang dicalonkan partai. Kondisi ini membuat dunia jurnalistik menjadi buruk. Ini menjadi tantangan bagi pers yang benar. Saran saya, jangan menggunakan kebebasan secara absolut.
Anda menentang keberpihakan, sementara Metro TV adalah milik Ketua Dewan Penasehat Golkar, itu bagaimana?
Itu bagian yang harus diterima. Ujian yang paling berat ketika Surya Paloh terjun ke konvensi Golkar, mencalonkan diri sebagai presiden. Sempat terjadi perdebatan antara pekerja profesional (karyawan Metro TV dan Media Indonesia-Red) dan tim sukses Surya Paloh. Agar tak terseret menjadi alat kepenting an golongan, kita membuat koridor dan membuat kesepakatan antara tim sukses dan para pekerja profesional.
Bisa dikatakan Metro TV adalah televisi berita, sementara masyarakat masih suka program hiburan, bagaimana Anda menghadapi tantangan ini?
Ketika Metro TV memutuskan diri menjadi televisi berita, banyak orang tertawa, dianggap bodoh dan tidak akan bertahan lama. Selama ini konsep orang membeli televisi adalah membeli hiburan, bukan berita. Berita hanya bagian dari program. Rating berita selalu kalah oleh sinetron. Saya katakan tidak, Metro TV akan bertahan lama dan sukses. Di Indonesia belum ada televisi seperti CNN. Dan kita tidak punya pengalaman di bidang hiburan.
Memang betul, di tahun-tahun awal adalah tahun penuh penderitaan, semua biro iklan enggan memasang iklan di Metro TV. Mereka selalu berpatokan pada rating. Untuk meyakinkan biro iklan memang susah. Usaha yang kita lakukan adalah melakukan pendekatan langsung kepada pemilik produk. Kita katakan, untuk jualan memang harus memasang iklan di televisi lain, tapi untuk image tidak ada televisi kecuali Metro TV.
Terbukti, sekarang pola pikir penonton sudah berubah, berita sudah menjadi tontonan penting. Akhirnya banyak stasiun televisi membeli mobil satelit dan membenahi program berita, merekrut wartawan dan presenter baru.
Menurut Anda, bagaimana tingkat kompetisi antara industri televisi?
Tinggi sekali. Persaingan semakin ketat, porsi iklan semakin terbatas. Untuk meningkatkan rating, apa saja dilakukan. Akibatnya muncul tayangan seks dan mistik. Dalam persaingan, kecenderungan lepas kontrol itu tinggi sekali.
Siapakah orang yang paling berpengaruh dalam hidup Anda?
Rahman Tolleng, dia orang pertama yang memotivasi saya untuk maju. Dia sering memuji, kalau nanti saya bakal jadi wartawan bagus. Dia bilang, cara saya menulis dan reportase cukup bagus. Mendengar itu, saya jadi tambah bersemangat. Kedua, Lukman Setiawan. Dia yang merekrut saya untuk bergabung dengan Koran Bisnis Indonesia. Walaupun saya belum sarjana, tapi dia bilang saya sudah layak dan tidak masalah. Ketiga, Amir Daud, Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia. Dia mengajari saya tentang moral dan merubah penampilan saya menjadi lebih rapi. Dulu penampilan saya selebor, mirip Ali Topan. Bahkan waktu itu saya belum memakai kaos kaki, ha... ha... ha!
Kemudian saya masuk ke majalah Matra. Di situ saya bertemu Fikri Jufri. Dia mengajarkan saya tentang lobi, Fikri Jufri adalah seorang ahli lobi. Fikri jufri memperkenalkan saya dengan orang-orang terkenal. Mungkin karena saya lahir dari keluarga kelas bawah, saya memiliki sifat minder dan sedikit introvert. Dengan profesi jurnalis, Fikri Jufri merubah pola pikir dan penampilan saya sehingga berani tampil di kalangan jetsetter.
Mereka ini adalah orang-orang yang paling berjasa dalam merintis karier saya. Kemudian yang terakhir adalah Surya Paloh. Dia membimbing saya untuk bemengambil keputusan. Banyak hal yang sulit dicerna akal sehat dan logika, tapi di tangan Surya Paloh banyak hal jadi bisa dicerna. Tidak ada kata yang tak mungkin baginya.
Surya Paloh tipikal orang demokratis. Saya sering beradu argumen dengannya. Pola ini saya ajarkan di sini, jadi tidak ada keputusan bersifat absolut. Reporter atau siapa saja, bisa mengeluarkan pendapat. Intinya, ide itu bisa datang dari siapa saja. Dan yang lebih penting, jangan biarkan ide mati di atas meja. Biarkan ide tumbuh dan berkembang. Itulah nilai-nilai yang saya pelajari dari grup ini.
Saat ini, bisa dibilang karier Anda di media massa sudah berada di posisi puncak. Apakah Anda masih memiliki obsesi lain?
Saya ingin jadi pemilik, ha... ha... ha. Banyak orang berpikir kalau sudah berada di posisi puncak sulit untuk mulai menekuni bidang lain. Saya mungkin termasuk orang yang berpikir seperti ini. Ada waktunya untuk enough is enough. Tapi dunia ini (jurnalistik-Red) tidak bisa saya tinggalkan.
Kalau saya ngotot tetap mau seperti ini, kasihan nanti anak-anak muda, tidak bisa tumbuh dan menggantikan saya.
Sebenarnya saya sudah pernah pamit kepada bapak Surya untuk menekuni bisnis sendiri. Tapi karena waktu pamitan Pemimpin Redaksi Metro TV keluar, akhirnya dia meminta saya untuk jangan pergi dulu. Cita-citaku memang ingin memiliki bisnis sendiri. Bisnis di bidang yang sama. Misalnya, punya majalah atau tabloid kecil-kecilan. Mungkin jurnalistik adalah dunia yang akan kutekuni sampai mati.
Pertanyaan terakhir, ada yang mengatakan kalau mau kaya jangan menjadi wartawan, Anda setuju?
Setuju, jadi wartawan memang tidak bisa kaya. Kalau mau kaya jadi pengusaha atau pemilik media. Sempat terbetik di pikiran, satu hari harus berhenti menjadi wartawan. Tapi apa boleh buat, saya senang menjadi wartawan, wartawan itu adalah hobi yang dibayar. Saya sering mengatakan kepada istri, saya ini bukan pergi bekerja tapi pergi berekreasi, pulangnya dibayar.
0 komentar:
Posting Komentar